Sabtu, 14 Maret 2015

4 Pesan dari Gus Mus



            Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa, yang paling diharapkan dari santri sebagai agent of change untuk perubahan di masyarakat ialah dalam hal mental spiritual. Dunia saat ini sangat sangat memerlukan perubahan mental dan spiritualitas. Dengan melihat fenomena sosial saat ini yang tengah kita alami, masyarakat memang sedang mengalami krisis spiritualitas yang dapat kita buktikan dengan sifat materialistis dan hedonisme yang begitu lumrah kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Marilah kita saksikan para pejabat tinggi  negara yang pastilah dianggap sebagai orang yang berintelektual, berpendidikan tinggi dan telah diberi mandat untuk menjadi khalifah atau pemimpin bagi masyarakat. Akan tetapi malah, melakukan tindakan korupsi yang tentunya telah melanggar norma, baik norma hukum maupun norma agama. Hal itu mengindikasikan adanya ketidakseimbangan antara aspek spiritualitas dan intelektualitas manusia dewasa ini.
Di sisi lain pada diri masyarakat selalu terdapat tawaran pengetahuan, ideologi bahkan sebuah akidah akibat arus informasi global yang keluar dan masuk. Tawar-menawar juga terjadi pada masalah budaya, etika dan estetika. Bagi masyarakat yang sudah menemukan jati dirinya, mempunyai dasar pijakan yang kuat, dan memiliki kimanan yang mantap, mereka tidak akan terpengaruh budaya asing yang masuk lewat informasi. Bahkan ilmu dan wawasan yang mereka miliki bisa menjadi filter masuknya budaya asing yang cenderung bertentangan dengan budaya islam.
Pada titik inilah, kita akan menemukan kekhasan yang tidak ditemukan selain pada masyarakat santri—tentunya santri yang mempunyai integritas tinggi,  yang tidak sama dan tidak seburuk nasibnya dengan masyarakat yang menjadi tumbal kemajuan zaman. Pondok pesantren dengan segenap komponennya akan tetap eksis dengan ideologi, sikap, dan kepribadiannya, apabila format pesantrennya masih memiliki spesifikasi. Format pesanren seperti diatas – dengan santrinya, akan sangat mungkin untuk mempertahankan citra pesantren sebagai benteng terakhir untuk membendung pengaruh sekulerisme, pragmatisme dan hedonisme, karena nilai ikhlas ubudiyahnya dan visi moralnya sangat jelas.
            Atas pertimbangan sebagaimana yang telah dijelaskan, tokoh ulama karismatik sekaligus tokoh yang dianggap sebagai tokoh mujtahid masa kini yang dimiliki dunia kepesantrenan yakni KH. Musthofa Bisri angkat bicara. Beliau berpesan mengenai empat hal yang harus menjadi bekal para santri dalam perjalanannya menyempurnakan eksistensinya dalam masyarakat. Berikut penjelasan lebih lengkapnya:
1.       Jangan Pernah Lupa Kepada Allah
Hal terpenting, dari yang terpenting dalam diri manusia adalah sejauh mana kedekatannya terhadap Sang Maha Pencipta. Karena semakin seseorang merasa dekat dengan-Nya maka segala pemikiran, perkataan dan perbuatannya pastilah akan terkendali, terencana dan tidak sembarangan sebab orang tersebut selalu mengingat Allah yang setiap detik akan selalu mengawasi dan mengetahui apapun yang telah, sedang dan akan diperbuatnya.
2.      Jangan Minder
Model pendidikan pesantren menjamur jauh sebelum lembaga pendidikan formal didirikan di Indonesia, sehingga kontribusinya sangat besar dalam pembangunan bangsa ini. Mempertahankan eksistensinya ditengah tren perkembangan masyarakat modern tentunya tidak mudah. Karena pesantren, di satu sisi, merupakan lembaga penguatan keagamaan dan moral, tetapi di sisi lain ia harus mampu beradaptasi dan bermetamorfosis sesuai dengan perkembangan masyarakat modern. Tantangan besar dalam masyarakat modern adalah dekadensi moral dan agama, lambatnya laju perkembangan ekonomi masyarakat, dan tingginya angka konsumerisme masyarakat. Berdasarkan tantangan ini, pesantren dapat melakukan revitalisasi peran dan fungsinya sebagai lembaga pendidikan dan pusat pemberdayaan masyarakat. Atas ketidaksamaan latar belakang antara masyarakat umum dan masyarakat santri bukan berarti masyarakat santri yang notabenenya adalah minoritas menjadi terpinggirkan begitu saja dari percaturan dunia global. Perbedaan inilah yang justru harus menjadi titik balik bagi kita untuk dapat unjuk gigi.

3.      Jangan Tidak Mengamalkan Ilmu
Idealnya ada 3 ”H” yangharus dididikkan kepada para santri, pertama, head (kepala). Artinya, mengisi otak santri dengan ilmu pengetahuan. Kedua, heart (hati). Artinya, mengisi hati santri dengan iman dan takwa. Ketiga, hand (tangan). Artinya kemampuan bekerja. Tiga ”H” tersebut tidak berarti apa-apa bila tidak benar-benar diimplementasikan dalam realita kehidupan. Bila dalam dunia kepesantrenan telah akrab dengan petuah “ilmu yang bermanfaat”, inilah gerbang yang harus dilaluinya untuk dapat mendapat ilmu yang bermanfaat yakni dengan mengamalkan ilmunya bagi kepentingan umat baik melalui cara langsung maupun yang tidak langsung.

4.      Jangan Pernah Berhenti Belajar
Mencari ilmu dari tiang ayunan sampai liang lahat, mungkin bagi kalangan para santri hadits tersebut sudah tidak asing lagi di telinganya. Namun tahukah apa yang terpenting dari hal tersebut? Ya, tidak lain adalah kesadaran kita dalam mencari ilmu itu sendiri. Merunut ke kedalaman maknanya, belajar bukan berarti harus dari lembaga formal seperti sekolah, tetapi belajar dari segala hal baik dari lingkungan, fenomena sosial maupun pengalaman. Belajar tidak dibatasi waktu dan tempat karena pada dasarnya manusia hidup adalah terus belajar untuk dapat mencapai kehidupan yang hakiki.
          (Diambil dari wawancara majalah el-khoshshoh edisi ke-19 MA NU Banat Kudus)