Tidak
dapat dipungkiri lagi bahwa, yang paling diharapkan dari santri sebagai agent of change untuk perubahan di
masyarakat ialah dalam hal mental spiritual. Dunia saat ini sangat sangat
memerlukan perubahan mental dan spiritualitas. Dengan melihat fenomena sosial
saat ini yang tengah kita alami, masyarakat memang sedang mengalami krisis
spiritualitas yang dapat kita buktikan dengan sifat materialistis dan hedonisme
yang begitu lumrah kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Marilah kita
saksikan para pejabat tinggi negara yang
pastilah dianggap sebagai orang yang berintelektual, berpendidikan tinggi dan telah
diberi mandat untuk menjadi khalifah atau pemimpin bagi masyarakat. Akan tetapi
malah, melakukan tindakan korupsi yang tentunya telah melanggar norma, baik
norma hukum maupun norma agama. Hal itu mengindikasikan adanya
ketidakseimbangan antara aspek spiritualitas dan intelektualitas manusia dewasa
ini.
Di sisi lain
pada diri masyarakat selalu terdapat
tawaran pengetahuan, ideologi bahkan sebuah akidah akibat arus informasi global
yang keluar dan masuk. Tawar-menawar juga terjadi pada masalah budaya, etika
dan estetika. Bagi masyarakat yang sudah menemukan jati dirinya, mempunyai
dasar pijakan yang kuat, dan memiliki kimanan yang mantap, mereka tidak akan
terpengaruh budaya asing yang masuk lewat informasi. Bahkan ilmu dan wawasan
yang mereka miliki bisa menjadi filter masuknya budaya asing yang cenderung
bertentangan dengan budaya islam.
Pada titik inilah, kita akan
menemukan kekhasan yang tidak ditemukan selain pada masyarakat santri—tentunya
santri yang mempunyai integritas tinggi,
yang tidak sama dan tidak seburuk nasibnya dengan masyarakat yang
menjadi tumbal kemajuan zaman. Pondok pesantren dengan segenap komponennya akan
tetap eksis dengan ideologi, sikap, dan kepribadiannya, apabila format
pesantrennya masih memiliki spesifikasi. Format pesanren seperti diatas –
dengan santrinya, akan sangat mungkin untuk mempertahankan citra pesantren
sebagai benteng terakhir untuk membendung pengaruh sekulerisme, pragmatisme dan
hedonisme, karena nilai ikhlas ubudiyahnya dan visi moralnya sangat jelas.
Atas
pertimbangan sebagaimana yang telah dijelaskan, tokoh ulama karismatik
sekaligus tokoh yang dianggap sebagai tokoh mujtahid masa kini yang dimiliki
dunia kepesantrenan yakni KH. Musthofa Bisri angkat bicara. Beliau berpesan
mengenai empat hal yang harus menjadi bekal para santri dalam perjalanannya
menyempurnakan eksistensinya dalam masyarakat. Berikut penjelasan lebih
lengkapnya:
1. Jangan Pernah
Lupa Kepada Allah
Hal
terpenting, dari yang terpenting dalam diri manusia adalah sejauh mana
kedekatannya terhadap Sang Maha Pencipta. Karena semakin seseorang merasa dekat
dengan-Nya maka segala pemikiran, perkataan dan perbuatannya pastilah akan
terkendali, terencana dan tidak sembarangan sebab orang tersebut selalu
mengingat Allah yang setiap detik akan selalu mengawasi dan mengetahui apapun
yang telah, sedang dan akan diperbuatnya.
2. Jangan Minder
Model
pendidikan pesantren menjamur jauh sebelum lembaga pendidikan formal didirikan
di Indonesia, sehingga kontribusinya sangat besar dalam pembangunan bangsa ini.
Mempertahankan eksistensinya ditengah tren perkembangan masyarakat modern
tentunya tidak mudah. Karena pesantren, di satu sisi, merupakan lembaga
penguatan keagamaan dan moral, tetapi di sisi lain ia harus mampu beradaptasi
dan bermetamorfosis sesuai dengan perkembangan masyarakat modern. Tantangan
besar dalam masyarakat modern adalah dekadensi moral dan agama, lambatnya laju
perkembangan ekonomi masyarakat, dan tingginya angka konsumerisme masyarakat.
Berdasarkan tantangan ini, pesantren dapat melakukan revitalisasi peran dan fungsinya
sebagai lembaga pendidikan dan pusat pemberdayaan masyarakat. Atas
ketidaksamaan latar belakang antara masyarakat umum dan masyarakat santri bukan
berarti masyarakat santri yang notabenenya adalah minoritas menjadi
terpinggirkan begitu saja dari percaturan dunia global. Perbedaan inilah yang
justru harus menjadi titik balik bagi kita untuk dapat unjuk gigi.
3. Jangan Tidak
Mengamalkan Ilmu
Idealnya ada 3 ”H” yangharus dididikkan
kepada para santri, pertama,
head (kepala). Artinya, mengisi otak santri dengan ilmu pengetahuan. Kedua,
heart (hati). Artinya, mengisi hati santri dengan iman dan takwa. Ketiga,
hand (tangan). Artinya kemampuan bekerja. Tiga ”H” tersebut tidak
berarti apa-apa bila tidak benar-benar diimplementasikan dalam realita
kehidupan. Bila dalam dunia kepesantrenan telah akrab dengan petuah “ilmu yang
bermanfaat”, inilah gerbang yang harus dilaluinya untuk dapat mendapat ilmu
yang bermanfaat yakni dengan mengamalkan ilmunya bagi kepentingan umat baik
melalui cara langsung maupun yang tidak langsung.
4. Jangan Pernah
Berhenti Belajar
Mencari ilmu dari tiang ayunan sampai liang lahat, mungkin bagi kalangan
para santri hadits tersebut sudah tidak asing lagi di telinganya. Namun tahukah
apa yang terpenting dari hal tersebut? Ya, tidak lain adalah kesadaran kita
dalam mencari ilmu itu sendiri. Merunut ke kedalaman maknanya, belajar bukan
berarti harus dari lembaga formal seperti sekolah, tetapi belajar dari segala
hal baik dari lingkungan, fenomena sosial maupun pengalaman. Belajar tidak
dibatasi waktu dan tempat karena pada dasarnya manusia hidup adalah terus
belajar untuk dapat mencapai kehidupan yang hakiki.
(Diambil dari wawancara majalah el-khoshshoh edisi ke-19 MA NU Banat Kudus)